Saat Cinta Harus Memilih
“Wi bangun, sudah pagi ini” kata ibu sambil mengetuk pinti
kamarku. Pelan pelan aku mencoba untuk membuka mata dan mengumpulkan segala
tenaga. Yah hari ini adalah hari pertamaku masuk SMA, jadi wajar saja jika aku
susah untuk bangun pagi karena terbiasa bangun siang selama libur sekolah.
Segera saja aku mandi dan mempersiapkan kostumku untuk acara MOS. “ah ada ada
saja ini masak iya suruh nempelin pita diseluruh jilbabku” gerutuku kesal. Dan
benar saja setelah aku siap dan membuka kamarku untuk segera sarapan seluruh
keluargaku menertawakanku karena menurut mereka aku sangat aneh. “ya ampun
lucunya anak ayah ini” ledek ayahku. “yaaah apaan sih yah” jawabku kesal
“cepetan sarapannya, itu nak kiki udah di depan” kata ibuku sambil
menepuk bahuku. “iya bu sebentar”. Segera aku keluar rumah dan menemui lelaki
itu, pandanganku masih tertuju pada lelaki itu. Lelaki yang seperti magnet
dengan daya tarik terkuat, dan aku adalah benda konduktor yang rela ditarik
oleh magis pesonanya. Lelaki yang sejak aku smp mengenalnya dan diam diam aku
menyukainya. Entah ini perasaan semu atau apa, yang kurasa aku ingin selalu
dekat dengannya. Betapa sempurnanya hidupku saat mengetahui bahawa lelaki itu
juga memiliki perasaan yang sama. Aku takakan pernah lupa bagaimana cara dia memintaku
untuk menjadi kekasihnya. Lelaki yang kini telah menjadi miliku kini ada di
depanku dengan senyumnya yang selalu aku tunggu dan tatapannya yang selalu
membuatku tenang. Sudah sebulan kami menjalani hubungan yang kata ayahku cinta
monyet. Tapi ayahku tak melarangnya karena kebetulan ayah dari lelaki itu
adalah teman ayahku.
“Hey kok bengong? Sudah siap? Ayo berangkat nanti kita terlambat
lo?” sapa kiki dengan lembut membuyarkan segala lamunanku. “iya ini udah siap,
ayo kita berangkat” jawabku riang. Aku dan kiki memang sudah tidak satu sekolah
tapi sekolah kami jaraknya cukup dekat dan searah jadi kiki memintaku untuk
berangkat bersamanya.
“Gimana persiapan MOSnya wi?”
“Ribet aku malu nih kaya ondel ondel saja”
“Nggak kok, kamu masih
tetep cantik”
“Gombal.....”
“hahahahaha”
Saat istirahan aku dan teman teman pergi ke kantin untuk membeli
minum. “wi kamu mau ikut organisasi apa?” tanya Diyah teman sebangkuku. “masih
bingung aku yah, em sepertinya aku mau ikut rohani islam aja deh, lumayankan
jadi tambah tambah ilmu dan pengalaman” .
Hari ini adalah perekrutan organisasi islam, dan aku mendaftarkan
diri untuk mengikuti organisasi tersebut. “ukhti besok minggu dateng ya ke
pengajian” ajak dewi salah satu temanku di organisasi tersebut. “iya insyallah ya
dew” balasku sambil tersenyum.
Hari minggu pun tiba, aku memintak kiki untuk mengantarkanku
kesekolah untuk mengikuti pengajian tadi.
“nanti mau di jemput jam berapa?”
“eeeem jam 10, kamu bisa jemput?”
“bisa kok, nanti aku jemput di sini ya
?”
“iya, ati ati ya”
Pengajian
ahad itu ternyata membahas tentantang virus merah jambu, di pengajian itu aku
baru mengetahui ternyata pacaran itu sama dengan berdzina. Seketika hatiku
bergetar, perasaan bersalah dan berdosa menghinggap dan menari nari di otakku.
Aku hanya bisa diam dan berenung ketika pengisi pengajian menyampaikan
kebenaran kebenaran yang selama ini aku tidak mengetahunya, atau...aku pura
pura tidak tau? Dan betapa mengerikannya ketika pengisi pengajian memberi tahu
adzab adzab yang akan kita rasakan karena kita bila kita berdzina.
Sepanjang
perjalanan pulang tak ada percakapan diantara aku dan Kiki aku hanya diam, tak
bergeming. Kalaupun Kiki mengajakku berbicara aku hanya menjawabya singkat dan
sedikit ketus. “kamu kenapa sih wi? Sakit?” akhirnya Kikipun menanyakan hal ini
kepadaku. “ enggak kok” balasku singkat. “terus kenapa? ada masalah apa?” tanya
Kiki sedikit panik. “enggak, nggak ada apa-apa kok” .
Sesampainya
dirumah aku cuma diam, menyendiri di kamar. Mungkin seisi rumah heran kenapa
aku berkelakuan aneh. Sesekali ibuku mengetuk pintu untuk mengajak makan, tapi
selalu ku tolak dengan dalih masih kenyang. Yang aku lakukan di kamar hanya menangis.
Rasa sesal, bersalah, takut, bingung campur menjadi satu. Apa yang harus aku
lakukan? Apa aku harus mengakhiri hubungan ini? Hubungan yang begitu indah, dan
untuk yang pertama kalinya bagiku. Ya Allah beri aku petunjuk-Mu. Batinku
merintintih tak kuat bila harus membayangkan kalau aku tanpanya.
Malam
itu aku tahajut, menumpahkan segala rasa, dan memohon ampunan-Nya. Dalam
sujudku yang terakhir butiran butiran air mata tumpah. Malam itu pun aku
mengambil keputusan, keputusan yang akan merubah hidupku.
Pagi
harinya aku sms kiki untuk mengajaknya bertemu di taman dekat rumahku. Dan kiki
pun mengiyakan permintaanku. Rasanya tak kuat aku langkahkan kaki menuju taman,
terasa berat seolah olah ada beban berkilo-kilo di kakiku. Saat itu kiki belum
datang, aku duduk di taman, taman yang menjadi saksi saat kita mengikat
hubungan yang semu ini. Hubungan yang aku sendiripun belum paham apa
maknanya.
“hy
wi ada apa? Kangen ya?” sapa kiki. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaanya.
“looh mata kamu kenapa kok bengkak? Kamu habis nangis? Ada masalah apa?” tanya
kiki lagi. Mungkin ini gara gara aku mengangis semalaman. “ki aku mau ngomong
sesutu sama kamu” . “ ada apa?” balas kiki gusar. “aku ingin kita putus kik”
akhirnya kalimat itupun keluar dari mulutku bersamaan dengan jatuhnya tetesan
airmata ini. “looh kok gitu? Kenapa? apa salahku?” protes kiki tidak trima.
“ki, hubungan ini tidak boleh di lanjutkan, agama tidak membolehkan kita
melakukan hubungan ini” jelasku. Tak kuat rasanya untuk menatap mata kiki. “tapi...aku
mencintaimu, apa yang salah?” jawab kiki sambil terbata-bata. “hubungan ini
yang salah!” aku menangis sejadi jadinya. Akhirnya aku meninggalkan kiki
sendirian di taman, meninggalkan lelaki yang sangat ku cinta. Lelaki yang
selalu ku tunggu senyum yang selalu mengembang di wajahnya kala dia menatapku,
lelaki yang mempunya tatapan sendu yang selalu mampu menenangkanku. Di taman ini
tempat dimana aku memulai hubungan dengannya, sekaligus mengakhirnya. Dan sore
itu menjadi sore yang paling menyedihkan yang pernah aku lalui.
Satu
bulan berlalu, semenjak kejadian itu aku tak pernah lagi mendengar kabar
darinya atau bertemu dengannya. Mungkin dia marah kepadaku, dan akupun bisa
terima. Aku sepi, di tengan opini orang yang menganggapku ramai. Senyumku
terkadang hanya hiasan bibir.
Sore ini hujan turun lagi, hujan ternyata masih menjadi peran
antagonis, hujan kembali mengingatkanku padanya. Dia yang satu bulan ini aku tinggalkan, tanpa ucapan selamat
tinggal. Dia yang selalu mengajariku bagaimana cara tersenyum dalam kesedihan.
Ya
Allah...berdosakah aku kalau aku masih saja merindukanya, berdosakah aku bila
aku masih mencintainya? Terkadang aku masih mengkhawatirkan bagaimana pola
makanya, konyol memang. Selalu terselib namanya dalam setiap sujutku. Walau
tangan ini tak dapat memeluknya tapi aku selalu memeluknya dalam doa. Terkadang
aku meminta kepada Tuhan agar dia menjadi imamku kelak. Aku ingin sekali kelak
aku dan dia mengikat suatu hubungan lagi, hubungan yang nyata dan suci.
Aku
dengar kini dia tengah dekat dekan seorang wanita. Siapa wanita pilahanya saat
ini? Betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi miliknya. Aku berharap wanita
itu bisa menghapus rasa sakit yang dia rasakan dan menggantikanya dengan
senyuman. Aku bahagia karna dia telah mendapatkan penggantiku walau masih
terselib rasa sakit.
Aku
sempat terpikir untuk melupakannya, sempat terencana untuk menghapus kenangannya,
pernah terbesit untuk tak lagi merindukanya, tapi ternyata aku belum cukup kuat
untuk melakukanya. Aku terlalu lemah untuk melupakanya. Berdosakah aku ya
Tuhan?
0 komentar:
Posting Komentar